“Bahwa oleh karena terdakwa II sejak awal MUNGKIN BERSALAH dan MENGAJUKAN BANDING maka Penuntut Umum pun mengajukan banding dan KARENANYA terdakwa II TIDAK DIKELUARKAN dari tahanan sampai sekarang”, demikianlah pertimbangann Mejelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung dalam halaman 9 (sembilin) paragraph 1 (satu) dari isi salinan putusan No : : 387/Pid/2011/PT. Bdg. Pertimbangan ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan atas kesimpang –siuran status penahanan Bobby Derifianza, mahasiswa semester akhir di kampus APP(Akademi Pimpinan Perusahaan) yang direkayasa menjadi tersangka dan di penjara hingga saat ini.
Kata mungkin bersalah dan mengajukan banding, merupakan cermin dari prilaku para penegak hukum Negeri ini dalam menangani perkara di Pengadilan Tingkat Pertama (PN. Bekasi) dan Pengadilan Tingkat Banding (PT. Bandung). Sehingga layaklah diterima opini yang beredar dan berkembang di masyarakat awam yang mengatakan bahwa “Pengadilan bukanlah tempat untuk mencari keadilan, melainkan tempat pembantaian keadilan”, karena hal tersebut bukan lagi sekedar opini karena menjadi nyata, merupakan fakta yang dialami sebahagian kaum awam (kaum sandal jepit) khususnya di Kota Bekasi.
Bagi penulis isi salinan putusan ini telah pulah di prediksi sejak beredarnya issu bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding dan telah pulah di tuangkan dalam media ini pada Hari Sab’tu 01/10-2011 dengan judul “TERKAIT PENGAJUAN BANDING JPU ARIS MUNANDAR SH BALAS DENDAM ATAU PENUTUPAN NODA” http://koranwartanusantarapolhukam.blogspot.com/2011/10/kisah-dan-perjuangan.html.
Virus dendam dan penutupan noda tersebut ternyata turut pula menjagkiti Ketua Pengadilan Tinggi Bandung c/q Waka PT, dengan mengeluarkan penetapan penahanan No : 609/Pen/Pid/2011PT.Bdg pada tgl 26/09-2011, yang bertujuan melegalkan tindakan PLH Ketua Pengadilan Negeri Bekasi dan Jaksa Penuntut Umum atas penahanan Bobby Derifianza yang merupakan perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi No :794/Pid.B/2011/PN.Bks yang diputuskan dan dibacakan dalam sidang terbuka pada 23 Agustus 2011, yang salah satu amar putusannya berbunyi “memerintahkan agar para terdakwa di keluarkan dari dalam tahanan”.
Virus ini di duga turut menjangki Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang memeriksa perkara tersebut, sehingga dalam pertimbangan sebagaimana diatas menyatakan “bahwa oleh karena terdakwa II sejak awal mungkin bersalah dan mengajukan banding maka penuntut umum pun mengajukan banding dan karenanya terdakwa II tidak dikeluarkan dari tahanan sampai sekarang”, hal ini tergambar dalam amar putusan dalam pon 4 (empat) yang berbunyi “memerintahkan terdakwa II tetap di tahan”.
Kata “MUNGKIN” merupakan bukti ketidak mampuan para penegak hukum untuk membuktikan kesalahan Bobby, kata “MAKA” merupakan langkah awal dari penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang di jembatani dengan kata “KARENANYA”, serta di wujudkan dalam tindakan “TIDAK DIKELUARKAN DARI TAHANAN SAMAPI SEKARANG”.
Dari rangkaian kata-kata tersebut diatas penulis coba menyimpulkan dalam satu bahasa singkat yaitu “ penahanan yang dilakukan terhadap Bobby bertujuan untuk mengesankan publik bahwa Bobby benar-benar bersalah”, sehingga Jaksa Penuntut Umum harus mengajukan banding. Sedangkan fakta yang sesungguhnya adalah, ketidak mampuan aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan Bobby dalam persidangan Tingkat Pertama, sehingga Majelis Hakim memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan.
Penahanan ini pulah telah menunjukkan bukti ketidak profesionalan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung, hingga harus dibantu oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan upaya penahanan, sehingga dalam pertimbangannya Majelis Hakim dapat melanjutkan penahanan dengan kata kuncinya yaitu “ yang dimintakan banding sekedar mengenai rumusan pidana ( kualifikasi), lamanya pidana yang dijatuhkan”, so… pastilah hasilnya di penjara, sebab jika tidak Waka PT. Bandung akan mendapat gugatan keluarga Bobby, karena telah menjatuhkan ponis sebelum adanya putusan banding yaitu dengan cara “ melakukan penahanan terhadap terdakwa II yang diperintahkan untuk di keluarkan dari tahanan”.
Apa jadinya hukum di Negeri ini jika. Undang-undang tidak lagi menjadi acuan dalam penegakkan hukum, sehingga persidangan hanya merupakan “sandiwara belaka”,sedang upaya hukum yang di tempuh “bagaikan jeratan maut yang akan menerkam dengan cara yang lebih buas lagi”.
Sampai kapan kebenaran akan terkubur oleh kekuasaan di Negeri ini ??, sampai kapan keadilan ternoda oleh kepentingan, apa jadinya nasib anak Negeri ini jikalau untuk kepembantaian pun harus mengupah si PEMBANTAI nya (membayar gaji melalui pajak dan pendapatan Negara bukan pajak yang di pungut dari rakyat) ?????????????.
Kata mungkin bersalah dan mengajukan banding, merupakan cermin dari prilaku para penegak hukum Negeri ini dalam menangani perkara di Pengadilan Tingkat Pertama (PN. Bekasi) dan Pengadilan Tingkat Banding (PT. Bandung). Sehingga layaklah diterima opini yang beredar dan berkembang di masyarakat awam yang mengatakan bahwa “Pengadilan bukanlah tempat untuk mencari keadilan, melainkan tempat pembantaian keadilan”, karena hal tersebut bukan lagi sekedar opini karena menjadi nyata, merupakan fakta yang dialami sebahagian kaum awam (kaum sandal jepit) khususnya di Kota Bekasi.
Bagi penulis isi salinan putusan ini telah pulah di prediksi sejak beredarnya issu bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding dan telah pulah di tuangkan dalam media ini pada Hari Sab’tu 01/10-2011 dengan judul “TERKAIT PENGAJUAN BANDING JPU ARIS MUNANDAR SH BALAS DENDAM ATAU PENUTUPAN NODA” http://koranwartanusantarapolhukam.blogspot.com/2011/10/kisah-dan-perjuangan.html.
Virus dendam dan penutupan noda tersebut ternyata turut pula menjagkiti Ketua Pengadilan Tinggi Bandung c/q Waka PT, dengan mengeluarkan penetapan penahanan No : 609/Pen/Pid/2011PT.Bdg pada tgl 26/09-2011, yang bertujuan melegalkan tindakan PLH Ketua Pengadilan Negeri Bekasi dan Jaksa Penuntut Umum atas penahanan Bobby Derifianza yang merupakan perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi No :794/Pid.B/2011/PN.Bks yang diputuskan dan dibacakan dalam sidang terbuka pada 23 Agustus 2011, yang salah satu amar putusannya berbunyi “memerintahkan agar para terdakwa di keluarkan dari dalam tahanan”.
Virus ini di duga turut menjangki Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang memeriksa perkara tersebut, sehingga dalam pertimbangan sebagaimana diatas menyatakan “bahwa oleh karena terdakwa II sejak awal mungkin bersalah dan mengajukan banding maka penuntut umum pun mengajukan banding dan karenanya terdakwa II tidak dikeluarkan dari tahanan sampai sekarang”, hal ini tergambar dalam amar putusan dalam pon 4 (empat) yang berbunyi “memerintahkan terdakwa II tetap di tahan”.
Kata “MUNGKIN” merupakan bukti ketidak mampuan para penegak hukum untuk membuktikan kesalahan Bobby, kata “MAKA” merupakan langkah awal dari penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang di jembatani dengan kata “KARENANYA”, serta di wujudkan dalam tindakan “TIDAK DIKELUARKAN DARI TAHANAN SAMAPI SEKARANG”.
Dari rangkaian kata-kata tersebut diatas penulis coba menyimpulkan dalam satu bahasa singkat yaitu “ penahanan yang dilakukan terhadap Bobby bertujuan untuk mengesankan publik bahwa Bobby benar-benar bersalah”, sehingga Jaksa Penuntut Umum harus mengajukan banding. Sedangkan fakta yang sesungguhnya adalah, ketidak mampuan aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan Bobby dalam persidangan Tingkat Pertama, sehingga Majelis Hakim memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan.
Penahanan ini pulah telah menunjukkan bukti ketidak profesionalan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung, hingga harus dibantu oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan upaya penahanan, sehingga dalam pertimbangannya Majelis Hakim dapat melanjutkan penahanan dengan kata kuncinya yaitu “ yang dimintakan banding sekedar mengenai rumusan pidana ( kualifikasi), lamanya pidana yang dijatuhkan”, so… pastilah hasilnya di penjara, sebab jika tidak Waka PT. Bandung akan mendapat gugatan keluarga Bobby, karena telah menjatuhkan ponis sebelum adanya putusan banding yaitu dengan cara “ melakukan penahanan terhadap terdakwa II yang diperintahkan untuk di keluarkan dari tahanan”.
Apa jadinya hukum di Negeri ini jika. Undang-undang tidak lagi menjadi acuan dalam penegakkan hukum, sehingga persidangan hanya merupakan “sandiwara belaka”,sedang upaya hukum yang di tempuh “bagaikan jeratan maut yang akan menerkam dengan cara yang lebih buas lagi”.
Sampai kapan kebenaran akan terkubur oleh kekuasaan di Negeri ini ??, sampai kapan keadilan ternoda oleh kepentingan, apa jadinya nasib anak Negeri ini jikalau untuk kepembantaian pun harus mengupah si PEMBANTAI nya (membayar gaji melalui pajak dan pendapatan Negara bukan pajak yang di pungut dari rakyat) ?????????????.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar