Eoto :Pengacara dan AKtivis
Hukum : Firdaus DJ. SH.MH
WANTARA-Jakarta
Harapan Rakyat Indonesia untuk melihat penegakakan hukumtanpa pandang bulu, tegas dan memenuhi rasa keadilan sepertinya tak kuntjung menjadi kenyataan. Rasa apatis dan putus asa ini semakin mengental dirasakan masyarakat dengan adanya vonis putusan yang dijatuhkan kepada Nasarudin Kamis (19/4-2012) di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, dengan hukuman 4 tahun 10 Bulan Penjara serta denda 200 juta rupiah. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia Vonis ini terlihat sangat ringan dan membingungkan.
Masih kokoh dlam ingatan kita pada awal mencuatnya kasus Nasarudin, begitu gencar pemberitaan di berbagai media cetak maupun elektronik sehingga menyedot perhatian pulik di seluruh pelosok Negeri. Silang pendapatpun terjadi disna-sini, muncul pulah berbagai spekulasi dan prokontra. Ini dapat dimaklumi karena Nasarudin adalah tokoh sentral dari sebuah Partai Besar … dengan jabatan bendahara umum.
Dramatisasi kaburnya Nasarudin ke berbagai Negara yang pada akhirnya tertangkap dan dijemput paksa KPK di Cartagena Colombiaq sebanarny sudah memberikan banyak harapan dan optimism public akan keseriusan perangkat hukum unutk menegakkan supermasi hukum.
Peristiwa tersebut dapat dijadikan titik awal “entri point proses hukum” bagi Nasarudin yang diyakini tidak terlibat sendiri melainkan menyeret berbagai oknum petinggi Partai dan pejabat Negara sebagai Master Mind (actor intelektual)nya.
Ketika Nasarudin dipulangkan dari Colombia dengan biaya besar dari Negara hingga 4 Miliiyar lebih, public seakan tidak keberatan dengan harapan yang besar akan terbungkarnya seluruh kasus yang terkait dengan Nasarudin.
Tapi justru ironis yang terjadi bayak kejanggalan selama proses hukum berlangsung, mulai dari penyeledikan sampai vonis yang cenderung kontra produktif dengan fakta persidangan yang dipertontonkan kepada rakyat, justru endingnya sangat melukai hati mayoritas rakyat Indonesia
Kapankah penegak hukum bias memenuhi rasa keadilan public, sementara di sisi lain terlihat jelas betapa lemahnya perangkat hukum dalam menyeret para koruptor kakap, terutama yang dekat dengan penguasa saat ini.
Telah terbukti secara sah di pengadilan bahwa kaus ini melibatkan bebera orang yang disebutkan Nasarudin seperti, Anas Ubaningrum dan dll. Tak seorang pun diantaranya yang tersentuh hukum, meskipun kesaksian dari beberapa saksi yang diperiksa di Pengadilan Tipikor menunjuk dan menyebut Anas Ubaningrum sebagai salah-satu actor intelektual dalam kasus wisma atlet, hakim dalam pertimbangannya sama sekali tidak berani menjadikan hal tersebut sebagai bahan pertimbangan.
Demikian juga akan adanya indikasi keterlibatan Menpora Andi Malarangeng sebagai institusi Pemerintahan yang berperan besar dalam meloloskan proyek Wisma Atlet.
Lambannya penanganan kasus Angelina Sondakh yang seluruhnya adalah kader Partai Demokrat selaku penguasa saat ini.
Melihat keterkaitan berbagai peristiwa dan perjalanan penanganan kasus ini membuktikan adanya hubungan yang sangat erat antara kemauan penguasa dengan penanganan hukum oleh aparat penegak hukum yang seharusnya dijalankan secara independen tanpa bias dipengaruhi oleh siapapun termasuk penguasa saat ini.
Adapun pelajaran yang dapt dipetik dalam peristiwa seperti ini adalah betapa “masih mandulnya penegakakan hukum ketika berhadapan dengan kepentingan penguasa” meski pada prinsipnya setiap wawrga Negara harus diperlakukan sama di mata hukum (equality be fore the law). Nasarudin hanyalah tumbal dari konspirasi kekuasaan para koruptor.
Dapat dibayangkan bagaimana kesulitan KPK untuk mencoba menerobos mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka seperti Angelina Sondakh, lebih-lebin terhadap Anas Ubaningrum dan Andi Malarangeng.
Jka keputusan terhadap salah-satu pelaku korupsi seperti Nasarudin yang justru juga sebagai penerima suap yang seyogianya masuk dalam wilaya Gratifikasi sesuai Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, tentang Pemberantasan Korupsi. jadi sama sekali tidak dijerat dalam pengertian korupsi sebagai diatur dalam pasal 2,3,40 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Harapan Rakyat Indonesia untuk melihat penegakakan hukumtanpa pandang bulu, tegas dan memenuhi rasa keadilan sepertinya tak kuntjung menjadi kenyataan. Rasa apatis dan putus asa ini semakin mengental dirasakan masyarakat dengan adanya vonis putusan yang dijatuhkan kepada Nasarudin Kamis (19/4-2012) di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, dengan hukuman 4 tahun 10 Bulan Penjara serta denda 200 juta rupiah. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia Vonis ini terlihat sangat ringan dan membingungkan.
Masih kokoh dlam ingatan kita pada awal mencuatnya kasus Nasarudin, begitu gencar pemberitaan di berbagai media cetak maupun elektronik sehingga menyedot perhatian pulik di seluruh pelosok Negeri. Silang pendapatpun terjadi disna-sini, muncul pulah berbagai spekulasi dan prokontra. Ini dapat dimaklumi karena Nasarudin adalah tokoh sentral dari sebuah Partai Besar … dengan jabatan bendahara umum.
Dramatisasi kaburnya Nasarudin ke berbagai Negara yang pada akhirnya tertangkap dan dijemput paksa KPK di Cartagena Colombiaq sebanarny sudah memberikan banyak harapan dan optimism public akan keseriusan perangkat hukum unutk menegakkan supermasi hukum.
Peristiwa tersebut dapat dijadikan titik awal “entri point proses hukum” bagi Nasarudin yang diyakini tidak terlibat sendiri melainkan menyeret berbagai oknum petinggi Partai dan pejabat Negara sebagai Master Mind (actor intelektual)nya.
Ketika Nasarudin dipulangkan dari Colombia dengan biaya besar dari Negara hingga 4 Miliiyar lebih, public seakan tidak keberatan dengan harapan yang besar akan terbungkarnya seluruh kasus yang terkait dengan Nasarudin.
Tapi justru ironis yang terjadi bayak kejanggalan selama proses hukum berlangsung, mulai dari penyeledikan sampai vonis yang cenderung kontra produktif dengan fakta persidangan yang dipertontonkan kepada rakyat, justru endingnya sangat melukai hati mayoritas rakyat Indonesia
Kapankah penegak hukum bias memenuhi rasa keadilan public, sementara di sisi lain terlihat jelas betapa lemahnya perangkat hukum dalam menyeret para koruptor kakap, terutama yang dekat dengan penguasa saat ini.
Telah terbukti secara sah di pengadilan bahwa kaus ini melibatkan bebera orang yang disebutkan Nasarudin seperti, Anas Ubaningrum dan dll. Tak seorang pun diantaranya yang tersentuh hukum, meskipun kesaksian dari beberapa saksi yang diperiksa di Pengadilan Tipikor menunjuk dan menyebut Anas Ubaningrum sebagai salah-satu actor intelektual dalam kasus wisma atlet, hakim dalam pertimbangannya sama sekali tidak berani menjadikan hal tersebut sebagai bahan pertimbangan.
Demikian juga akan adanya indikasi keterlibatan Menpora Andi Malarangeng sebagai institusi Pemerintahan yang berperan besar dalam meloloskan proyek Wisma Atlet.
Lambannya penanganan kasus Angelina Sondakh yang seluruhnya adalah kader Partai Demokrat selaku penguasa saat ini.
Melihat keterkaitan berbagai peristiwa dan perjalanan penanganan kasus ini membuktikan adanya hubungan yang sangat erat antara kemauan penguasa dengan penanganan hukum oleh aparat penegak hukum yang seharusnya dijalankan secara independen tanpa bias dipengaruhi oleh siapapun termasuk penguasa saat ini.
Adapun pelajaran yang dapt dipetik dalam peristiwa seperti ini adalah betapa “masih mandulnya penegakakan hukum ketika berhadapan dengan kepentingan penguasa” meski pada prinsipnya setiap wawrga Negara harus diperlakukan sama di mata hukum (equality be fore the law). Nasarudin hanyalah tumbal dari konspirasi kekuasaan para koruptor.
Dapat dibayangkan bagaimana kesulitan KPK untuk mencoba menerobos mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka seperti Angelina Sondakh, lebih-lebin terhadap Anas Ubaningrum dan Andi Malarangeng.
Jka keputusan terhadap salah-satu pelaku korupsi seperti Nasarudin yang justru juga sebagai penerima suap yang seyogianya masuk dalam wilaya Gratifikasi sesuai Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, tentang Pemberantasan Korupsi. jadi sama sekali tidak dijerat dalam pengertian korupsi sebagai diatur dalam pasal 2,3,40 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Bahkan Hakim dalam pertimbangan hukumnya sama sekali tidak mempertimbangkan seorang terdakwa Nasarudin sebagai Wakil Rakyat yang terhormat di Komisi III yang menangani bidang hukum.
Sudah seharusnya kasus Nasarudin dijadikan sebagai salah-satu pilar unsure Negara didalam memberantas korupsi itu sendiri.
Penulis adalah : Seorang Pengacara Ibu Kota/Aktivis serta Penghamat Hukum.
Sudah seharusnya kasus Nasarudin dijadikan sebagai salah-satu pilar unsure Negara didalam memberantas korupsi itu sendiri.
Penulis adalah : Seorang Pengacara Ibu Kota/Aktivis serta Penghamat Hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar