Selasa, 17 April 2012

Kejahatan HAM Berat Yang Terabaikan Dan Terlupakan

Menguak Misteri Surat Perintah Sebelas Maret
Bung Karno : Tunggu Komandoku 
SBNNEWS-JAKARTA

Tunggu komandoku !!. Itulah perintah Bung Karno beberapa hari setelah adanya Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Perintah itu ditujukan kepada pendukung-pendukung Bung Karno yang tidak sabar lagi menghadapi “lagu” nya pendongkel-pendongkel Bung Karno, yang selain dari beberapa kelompok Militer, dimotori oleh mahasiswa Universitas Indonesia dan beberapa Universitas lainnya yang ada di Jakarta, dalam gabungan apa yang mereka sebut dirinya “Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia”, atau dengan singkatan KAMI. Pemimpin KAMI pada kala itu adalah Akbar Tanjung (Ketua Umum Golkar), Cosmos Batubara (PMKRI) Suryadi (Ketua PDI) dll.
Pendukung-pendukung Bung Karno di Jakarta, menurut Amir Mahmud yang waktu itu menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya mengatakan, kalau diadakan perbandingan kekuatan pasukan yang mendukung Presiden Sukarno masih lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang mendukung Orde Baru (Amir Mahmud “Prajurit Pejuang” Hal. 293). Selain dari kalangan Militer, maka kekuatan Mahasiswa yang mendukung Bung Karno jauh lebih besar ketimbang pendukung KAMI, apalagi bila dihitung dari Pemuda Marhaenis dan Buruh Marhaenis.
Perna suatu ketika , pada waktu mahasiswa GMNI berdemonstrasi didepan Kadutaan Besar Amerika Serikat bertemu degan kelompok KAMI didekat Tugu Monas, kelompok KAMI lari diburu anak-anak GMNI. Demikian juga tatkala GMNI mengadakan peringatan 28 Oktober di Istora tahun 1966, waktu kembali ke markas PNI di Jl. Tegalan, dicegat KAMI dipertigaan Jl. Diponegoro-Salemba sehingga anak-anak GMNI terpaksa melawan. Ternyata yang memakai baju seragam kuning (UI) adalah Militer, tampak dari senjata Laras Panjang yang mereka tembakkan kea rah anak-anak SMA itu.
Peristiwa 28 Oktober 1966 itu, kaum pendukung Bung Karno sudah berada pada status “tunggu Komando”, sehingga pimpinan GMNI tidak membenarkan anggotanya menyusup dari RSUP menuju kampus Universitas Indonesia (UI) untuk meghajar dari belakang.
Semua kelompok pendukung Bung Karno yakin bahwa Bung Karno tidak lama lagi akan mengeluarkan “Komando Serbu” terhadap pendonhkel-pendongkel Bung karno, dan karenanya tidak membenarkan anggota GMNI bertindak diluar komando walau dipancing oleh KAMI. Sebab pada Bulan Juni 1966, yaitu dari tanggal 20 Juni hingga 5 Juli, dalam Sidang MPRS, Bung Karno sudah menjelaskan bahwa peristiwa GESTOK itu adalah akibat keblingernya pimpinan PKI, lihainya Sunversi NEKOLIM dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. Walau reaksi pendongkel Bung Karno atas “NAWAKSARA” itu besar, akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1966, Bung Karno berpidato dengan mengingatkan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” menyebabkan pendukung Bung Karno berfikir lebih arif, jangan sampai terpancing “berperang melawan saudara sendiri” yang akan mengundang campur tangan asing.
Ternyata ke arifan seperti ini adalah hakekat dari “tunggu Komandoku” nya Bung Karno, yang secara dialektis memerintahkan pendukungnya “menunggu Komando”, sehingga thesa yang dihumbar kesatuan aksi mahasiswa tidak mendapat anti-thesa dari pendukung Bung Karno, maka pasukan Amerika Serikat yang sudah siap menggempur dan sudah berada di Laut Cina Selatan tidak terlegimitasi memasuki Jakarta. Dengan kata lain, kekuatan pendukung Bung karno, gara-gara patuh 'menunggu komando’ tidak melakukan perlawanan fisik terhadap pendukung Suharto (Akbar Tanjung, Cosmos Batubara,Suryadi dll) dengan akibat tidak terjadi bentrok terbuka antara pendukung Suharto yang menyebut dirimereka Orde Baru menghadapi pendukung Sukarno yang dicap Akbar Tanjung sebagai Orde Lama. Tanpa adanya bentrokan itu, maka tidak ada alasan mariner Amerika Serikat yang sudah menunggu di Laut Cina Selatan mengempur Jakarta.
Tanpa adanya perlawanan dari pendukung Bung Karno maka anak buah KAMI meraja lela melampiaskan kemenangannya dengan menghantam siapa saja yang dicap sebagai ASU (Anak Buah Sukarno) dengan tudingan PKI. Walau ASU itu asal-muasalnya dari tuduhan kelompok PNI Orde Baru, pimpinan Hardi.SH dengan singkatan Ali-Surahman, tapi kemudian oleh pendukung Suharto dicap sebagai Anak Sukarno.
Tanpa adanya perlawanan dari kelompok ASU, memancing kegairahan mahaisiswa-mahasiswa UI pendukung Suharto menghantam pendukung Bung Karno, seperti misalnya menangkap anak GMNI mahasiswa UI asal Purwokerto bernama “MUNTAKO” dihalaman UI, Jl. Salemba Raya No. 4 Jakarta.
     "Muntako, mereka suntik
serum anjing Gila,
sehingga pemuda ini
menggonggong seperti anjing
dan
meninggal tanpa perawatan".

Kemudian oleh perawat RSUP, Muntako dikirim ke Jl. Tegalan, Kantor PNI.
Jika dihitung balik, berapa jumlah rakyat Indonesia yang ,mati oleh pembunuhan kaum pendukung Suharto, maka angkanya tidak akan kurang dari 2.5 juta orang. Lain lagi berapa banyak yang ditahan , dianiaya tanpa alasan serta berapa juta orang yang diburu dan diberhentikan dari pekerjaannya.
Ini pembunuhan satu arah, jadi bukan tawuran, tidak pernah diungkap oleh siapapun. Walau pada tahun belakangan ini ada suara “menentang Orde Baru” dari yang diketahui di tahun 1966 adalah tokoh Orde Baru, tokoh pendukung Suharto.
Tunggu Komandoku yang diajukan Bung Karno tahun 1966 menghadapi thesa Suharto untuk memancing anti-thesanya, tidak perna terwujud dengan hasilnya Bangsa Indonesia utuh dalam persatuan. Tahun 2000 ini juga kaum Sukarnois yang sadar, tidak akan memancing diair keruh, tidak akan menggugat peristiwa pembunuhan 2.5 juta rakyat sepertipun tidak akan menunjuk (walau tahu siapa pembunuh Bung Karno), demi tertutupnya “pintu adu-domba” yang masih direkayasa oleh kekuatan di tahun 1965-1966, seperti dituliskan dalam bukunya “Sunversi” hal 294.
Ditulis oleh : Bachrum Musa
Aktivis Pemuda Marhaenis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar