Rabu, 28 Maret 2012

Terkait Penghentian Pembongkaran dan Pemasangan Garis Polisi Kapolresta Kab. Bekasi Hakim Atau Polisi



John Wilson Sijabat Ketua Departemen Antar Lembaga DPP-Ikatan Pemuda Indonesia (IPI)
 
WANTARA, Bekasi
Tindakan Kapolresta Kab. Bekasi yang memerintahkan Kapolsek Pabayuran untuk menghentikan pembongkaran Gudang Cibeo merupakan tindakan diskriminatif, sebab kegiatan pembongkaran tersebut telah terlebih dahulu di beritahukan kepada Lurah dan unsur-unsur Muspika setempat.
Dalam Surat Pemberitahuan yang disampaikan DPP LSM-GERAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) selaku pemegang kuasa Subsitusi dengan mengirimkan Surat Nomor : 47/DPP-GERAK/LP/K/III/2012, pada tgl 22 Maret 2012 yang ditujukan kepada Lurah Desa Kerta Sari. Kec. Pabayuran, yang tembusannya disampaikan kepada Camat,Dandim serta Kapolsek Pabayuran, dilampirkan bukti-bukti kepemilikannya.
Dengan alasan adanya “Laporan Pencurian” , Kapolres memerintahkan Kapolsek Pebayuran untuk menghentikan kegiatan, bahkan Kapolsek tersebut mengawal beberapa “TUAN TANAH” untuk melakukan penggembokan yang seolah memproklamirkan bahwa, yang membuat Laporan Pengaduanlah sebagai pemilik Gudang tersebut. Padahal kepada Sang Kapolsek mereka tidak bersedia untuk memberikan Copy Surat-Surat sebagai bukti kepemilikan.
Apa yang dilakukan orang yang mengaku memilki Sertifikat Hak Milik tersebut sesungguhnya merupakan pelecehan terhadap institusi Kepolisian setempat, sebab tidak bersedia memberikan bukti-bukti kepada aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan kerancuan.
Sebagai Organisasi yang bersifat Nasional kami bertanya, Kapolres sesungguhnya Hakim atau Polisi, jika Hakim Wajarlah ia menghentikan kegiatan karena Hakim dengan penetapannya dapat memerintahkan tindakan eksekusi terhadap putusannya, namun jika ia Polisi, mengapa “Laporan Kepemilikan” yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat diabaikan, sedangkan “laporan Pencurian” yang belum jelas kebenarannya langsung ditanggapi.
Apa yang dilakukan pihak LSM, dengan melaporkan Kapolres ke Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri membuktikan kepatuhannya terhadap proses Hukum. Segala tindakan yang dilakukan tentu ada konsekwensi hukumnya, sehingga aparat penegak hukum haruslah menghormati hak-hak hukum para pihak.
Himbauan kami kepada Kapolres, sebaiknya melakukan instropeksi dulu kedalam jajarannya, sebab tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada Bapak Kombes pol . Wahyu Hadiningrat, ijinkan saya bertanya, sudahkah pihak Kepolisian mempelajari dan mengetahui status tanah dan sebahagian bangunan yang telah dijadikan Mapolsek Pabayuran ???. Dari mana asalnya serta milik siapa sesungguhnya bangunan tersebut.
Hasil investigasi yang telah kami lakukan, serta dari bukti-bukti yang kami dapat, menurut Surat Akte Eigendom Verponding Nomor : 1230/1913, yang diambil dari Copy : 1230/1938, Perceel Verponding Nomor 6635 yang diajukan LSM-GERAK adalah milik Tuan Tjeng Po/Tjeng Lo, yang disalin pada tgl 23 Oktober 1913.
Akte Verponding tersebut merupakan Turunan dari DDO, 2 November 1824 No. 4 dan disalin ulang DDO, 11 Januari 1897 sebagai pewaris Gouw Medjid pada tanggal 21 Agustus 1913 di Tjabang Boengin (Meester Cornelis).
Surat Wasiat Pewarisan tersebut dibuat berdasarkan kehendak DDO, sub Nomor 80 pada tgl 27 juni 1902 dan dicatat dalam akte verponding Nomor : 6635 dihadapan Notaris “Thomas Bunyamin Van Soest.
Selanjutnya di catat dan dibukukan oleh Chin Boedi Kractens selaku Panitera Mahkamah Pengadilan di Batavia, dan di tandatangni oleh Hakim (W.G). U.J. Van Soest.
Sementara kepemilkian yang diakui oleh Agung Lesmana als Acong yang memilki Sertifikat Hak Milik sebagai peningkatan dari Sertifikat HGB yang muncul secara mendadak tersebut perlu dibuktikan kebenarannya, sebab dari keterangan beberapa saksi kepada Tim Investigasi kami didapat pengakuan bahwa “GUDANG CIBEO BUKAN MILIK NEGARA, MELAINKAN MILIK TUAN TJENG PO”. Sumber tersebut juga mengatakan bahwa jual beli dilakukan oleh orang yang tidak berhak pada thn 1952 yang bernama “TABA kepada AGUNG LESMANA”, jual beli tersebut dilakukan secara “ILEGAL”, sebab pemilik lahan dan bangunan tersebut yang bernama Gouw Tjeng Po/ Gouw Tjeng Lo sedang bepergian (menghindar) karena takut pada “PERISTIWA G. 30 S PKI).
Dengan demikian lahan Gudang Cibeo bukan milik Negara, sehingga pembuatan Sertifikat HGB diduga merupakan unsur kesenganjaan untuk menggelapkan kepemilikan Gouw Tjeng Po /Gouw Tjeng Lo, sebab keterangan yang diberikan untuk penerbitan HGB nyat-nyata dipalsukan.
Kami menghimbau Kapolresta Kab. Bekasi untuk melakukan penyelidikan serta penyidikan atas timbulnya kedua Sertifikat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar