Wawasan Kebangsaan
Dampak Budaya Feodalisme Terhadap Mentalitas Bangsa (bag 3)
Oleh : Bachrum Musa
Ø
Pihak Rakyat :
1.
Tidak merasa ikut memiliki Negara.
2.
Berusaha agar bisa memasuki jajaran kelas
penguasa. Tindakan ini dilakukan melalui pendidikan formal.
3.
Tidak merasa rugi jika Indonesia pecah menjadi
beberapa Negara. Artinya, tidak mau tahu nasib Negara, (karena bukan pemilik
Negara). Lanjutannya mengurangi rasa
solidaritas nasional.
4.
Merasa tidak senang, malah membenci kelas
penguasa, terutama yang menggunakan atribut semacam militer, pamong praja, dan
sejenisnya. Rasa tidak senang itu bisa dilampiasakan lewat merusak telepon
umum, atau apa saja milik pemerintah di tempat umum.
5.
Selalu takut kepada penguasa, khususnya tingkat
kelas paling awah, di pedesaan atau pedagang kaki lima, serta tukang becak.
Rasa takut sudah membudaya, sampai kepada pameo “jangan nangis, ada Polisi”.
6.
Tidak merasa perlu ikut Parpol walau pada setiap
pemilu ikut mencoblos tanda gambar karena takut sisalahkan.
7.
Tetap mempunyai simbol kepada tokoh kharismatik
dan percaya pada ramalan Joyobaya, sehingga keikutsertaan pada kegiatan
spiritual dihubungkan dengan harapan datangya perubahan.
8.
Secara formal tunduk dan patuh kepada pejabat,
walau dalam hati sangat membenci, seperti umumnya di kalangan masyarakat paling bawah. Kebiasaan ini
menjadi tumbuhya mentalitas munafik.
9.
Akibat tidak adanya parpol yang independent,
rakyat menjadi cair walau tampak bersama-sama, namun tidak terbentuk pendapat
yang programatis. Massa mengambang benar-enar menjadikan rakyat tidak potensial
di bidang politik. Akibat tumbuhnya rasa
ketidakpedulian terhadap masalah bangsa, dan menjauhkan diri dari persoalan
Negara.
10.
Kebiasaan menyuap menjadikan rakyat pun
melakukannya tanpa rasa bersalah, sehingga mentalitas korupsi dan suap-menyuap
menjadi kebiasaan sehari-hari. Mulai dari pembuatan KTP, Surat Kelakuan Baik,
biaya masuk sekolah, naik haji, memperpanjang STNK, dll.
Ø
Apa Yang
Harus Dilakukan ?
1.
Intelektual kelas margianal seharusnya mau
mempelajari secara objektif apa sebenarnya kini yang terjadi di Indonesia. Dari
hasil pelajaran dapat disimpulkan mana yang salah dan yang benar.
2.
Juga sewajarnya mempelajari kembali apa yang
diwariskan pejuang-pejuang kemerdekaan, termasuk Pancasila, UUD 45, juga
dihubungkan dengan kebutuhan rakyat Indonesia sekarang dan di masa depan, juga
dihubungkan dengan perkembangan dunia dan posisi Indonesia di tengah-tengah
bangsa-bangsa.
3.
Intelektual marginal agar coba berusaha tidak
memasuki kelas pemilik Negara, walau akibatnya amat tragis. Kemudian rela
terjun ke tengah rakyat jembel, apalagi jika mungkin tindakan terjun itu
dilakukan secara programatis denga para intelektual lainnya. Alangkah bahagianya rakyat jembel (miskin
sekali –red) Indonesia di luar Jawa, bila ada intelektual yang mau menyertai
mereka berdisusi tidak sebagai guru, melainkan sebagai warga di pedesaan sana.
Dengan begitu kaum intelektual ini akan menginspirir rakyat desa beproduksi
secara efisien, selai berfikir secara rasional untuk kemudian bertindak di
bidang politik.
4.
Intelektual yang sadar hendaknya membentuk
kelompak, selain bagi studi permasalahan, juga bagi kelompok penyusun kekuatan
riil politik yang berbasis kepada rakyat jembel tadi. Walau dalam 3 sampai 5
kali pemilu tidak dapat hasil, akan tetapi suara yang dibawa oleh
intelektual-kerakyatan itu pasti menggema di hati sanubari rakyat untuk pada pemilu
lanjutannya, partai intelektual kerakyatan ini akan meraih kemenangan.
5.
Hanya dengan berguru kepada masa kesulian, atau
masa diktaturisme yang merajalela belakangan ini, dengan hati yang teguh tidak
mengulangi kejahatan seperti itu dan bepedoman pada kesempatan pada amanat
penderitaan rakyat, kekuatan intelektual-kerakyatan itu, tidak mengualangi
tragedi orde baru, akan mampu membangun masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur serta modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar